Skip to main content

KAMBING HITAM

A good leader takes a little more than his share of the blame, a little less than his share of the credit. ~ Arnold H. Glasgow

Ketika jalan tol menuju bandara menjadi lautan air, penjelasan yang diberikan adalah pompa-pompa kalah cepat bekerjanya dibanding datangnya air, sehingga akhirnya terendam dan tidak berfungsi.
Ketika terjadi penembakan aparat terhadap mahasiswa dan masyarakat lebih dari sepuluh tahun lalu, para petinggi menyatakan adanya kesalahan prosedur dan menyalahkan personil lapangannya.
Ketika sasaran departemen tidak tercapai, seorang General Manager dengan yakinnya menyatakan bahwa ”ini faktor eksternal akibat ketatnya persaingan, kita tidak bisa berbuat banyak.”
Ketika cara mengajar saya diberi nilai jelek oleh sebagian peserta pelatihan, nyaris spontan ada suara dalam hati berujar ”ah, mereka memang kurang terbuka pikirannya.”

Ah, betapa susahnya menerapkan kalimat bijak yang ditoreh oleh Arnold Glasgow di atas. Betapa tidak nyamannya kita dengan segala sesuatu yang tidak beres, kurang beres, atau kurang berhasil. Dan diri kita punya mekanisme nyaris otomatis untuk menangani kondisi tersebut - self-defense mechanism bahasa kerennya. Tubuh kita punya sistem melindungi fisik dari berbagai ancaman. Paralelnya, psikis kita juga punya mekanisme untuk melindungi diri dari semua penimbul rasa tidak nyaman yang berpotensi mengancam rasa aman, rasa harga diri, rasa bangga dan rasa nyaman lainnya.
Ada mekanisme ”Menyangkal kenyataan” seperti banyak dilakukan pejabat-pejabat yang ketiban sial terkorek aliran dana ke koceknya. Ada mekanisme ”Rasionalisasi”, yaitu memberi penjelasan yang sepertinya masuk akal, tetapi sebenarnya setiap orang dengan kecerdasan rata-rata bisa paham bahwa penjelasan tersebut cuma untuk menutupi kelemahan. Adapula yang namanya ”Proyeksi” : kita yang sebenarnya sangat ingin mendapatkan posisi leader, tapi kita hembus-hembuskan bahwa si Amin lah yang sangat ambisius menjadi leader.

Defense mechanism sangat bermanfaat bagi diri. Kalau tidak ada, kita menjadi orang yang merasa bersalah melulu, rendah diri, dan kehilangan semangat diri. Repotnya kalau mekanisme ini bekerja kebablasan, dia mati-matian membela kita supaya 100% terhindar dari rasa tidak nyaman manusiawi. Maka muncullah perilaku defensif, mau menang sendiri, tidak bisa melihat kelemahan dan kekurangan diri. Tidak mau kalah, dan mencari kambing hitam di luar diri tanpa mau melihat ke dalam dirinya.


Pemimpin Sejati adalah seorang yang mampu memanfaatkan mekanisme pertahanan diri ini secara proporsional. Dia menerima blame, kekurangan diri, kesalahan ataupun keterbatasan manusiawi yang ditampilkannya. Dan ia berani menyatakannya. Dan ia berani minta maaf atas semua ketidaknyaman yang terpaksa ditanggung orang lain, pengikutnya. Kemudian jalan terus sambil memperbaiki kelemahan/ kekurangannya.

Pernah dikisahkan penggalan kisah sewaktu remaja dari sepupu dari Indira Gandhi. Menetap di Afrika Selatan, mereka tinggal di pinggiran kota (seperti Parung), sehingga kalau ada keperluan besar atau hiburan yang lebih ok punya harus ke kota.
Suatu saat di akhir pekan si (sebut saja) Amril perlu membeli keperluan sekolah yang kebetulan hanya tersedia di kota. Ia meminjam mobil ayahnya. ”Wah, kebetulan. Bisa tolong sembari kamu belanja keperluan, taruhlah mobil di bengkel langganan kita untuk diservis.” kata ayahnya. ”Ayah nanti menyusul naik bis saja, dan pulangnya kita bareng.” Amril tentu saja tidak keberatan.


Setibanya di kota, setelah menaruh mobil di bengkel dan rampung belanja keperluannya, ia bertemu beberapa teman yang sedang berada di kota pula. Mereka memutuskan menonton film tersebut, dan sesudah itu masih ngumpul-ngumpul, ngobrol-ngobrol. Sudah setengah enam sore ketika Amril baru ingat janji untuk menjemput sang ayah di toko langganannya. Bergegas ia menuju bengkel, lalu secepatnya memacu gas ke sana. ”Kok sore sekali, apa yang terjadi ?” tanya ayahnya, dengan nada biasa. Karena Amril merasa bersalah tapi takut dimarahi, ia mencari alasan : ”Anu ayah, bengkelnya penuh sekali. Eee .. ini baru selesai dikerjakan.” jawabnya terbata-bata. ”Oh, betul begitu ya?” tanya ayahnya lagi. Amril hanya mengangguk lemah.
Ayahnya menghela napas, kemudian berkata, ”Nak, aku telah menelpon bengkel, dan mereka mengatakan mobil kita sudah siap dari pukul setengah tiga tadi.” Amril terhenyak. Ia siap menerima hukuman. Tapi ..... ”Ayah tahu kamu telah berkata tidak jujur. Itu berarti, ayah belum berhasil mendidik kamu untuk menjunjung tinggi kejujuran. Sebagai hukumannya, ayah akan berjalan kaki ke rumah sambil merenungkan peristiwa ini.” Sang ayah langsung memulai langkahnya, dan sama sekali tidak mempan dibujuk agar mau masuk ke mobil. Mereka sampai di rumah hampir setengah sepuluh malam. Dan sepanjang waktu hampir empat jam tersebut, sepanjang perjalanan pulang, sambil menyetir mobil pelan-pelan di belakang langkah ayahnya, Amril begitu tersiksa dan menangis tersedu-sedu. Sesudah itu ia tidak pernah lagi alpa menegakkan nilai kejujuran dalam segenap perilakunya.

Saya berkaca-kaca ketika menuliskan kembali kisah ini. Betapa tegarnya sang ayah. Betapa melayaninya. Betape crystal-clear nya ia akan apa yang penting dalam hidup ini. Dan ia memikul tanggung jawab secara penuh, tidak mencari kambing hitam. Betapa ia adalah Pemimpin Sejati bagi keluarganya.

Let’s light up Indonesia !

Comments